Forum Teknik Pelayanan Kesehatan Internasional (International Healthcare Engineering Forum – Inahef) diadakan di Jakarta. Alat kesehatan dalam negeri masih kecil, dan yang ber-SNI belum 50 persen. (foto: humas bsn)
Alat Kesehatan Dalam Negeri Sedikit, yang Ber-SNI Belum 50 Persen
Peningkatan jumlah industri alat kesehatan dalam negeri meningkat drastis dalam empat tahun terakhir. Data Kemenperin menyebutkan, pada 2020 tercatat hanya ada 150 perusahaan tapi hingga Juli 2024 tercatat sudah ada 1.199 perusahaan.
“Penyerapan produk lokal semakin meningkat, tecermin dari kenaikan persentase produk alat kesehatan dalam negeri (AKD) dalam pengadaan pemerintah, dari 12 persen pada 2019 menjadi 48 persen pada tahun 2024,” ungkap Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Putu Juli Ardika di acara Forum Teknik Pelayanan Kesehatan Internasional (International Healthcare Engineering Forum – Inahef) yang diadakan di Smesco, Jakarta Selatan, yang digelar pada 17-19 September 2024.
Jenis produk AKD mencapai 453 produk dengan jumlah izin edar mencapai 15.500. “Yang lolos uji SNI belum melebihi 50 persennya,” ujar Sekretaris Utama Badan Standardisasi Nasional (BSN) Donny Purnomo di acara Forum Teknik Pelayanan Kesehatan Internasional itu.
Donny menyatakan, BSN terus mendorong penerapan SNI bagi alat kesehatan dan fasilitas kesehatan. “Penerapannya perlu kita support bersama-sama dengan berkolaborasi dan bersinergi dengan seluruh pihak yang terkait demi kemajuan bersama,” tutur Donny.
Jumlah jenis produk AKD dan izin edarnay tentu masih kalah jauh dibandingkan dengan jenis produk alatkesehatan luar negeri (AKL). Jenis produk AKL yang dipakai di Indonesia ada 1.556 produk, dengan jumlah izin edar mencapai 55.210. “Impor produk AKL semester pertama 2024 mencapai 456,9 juta dolar Amerika,” ungkap Putu Juli Ardika.
Produk AKD masih merupakan produk dengan teknologi level menengah. Untuk produk alat kesehatan dengan teknologi level tinggi masih harus diimpor. Perkumpulan Teknik Pelayanan Kesehatan Internasional (PTPI) memberikan bimbingan produksi.
Presiden PTPI Prof Dr Eko Supriyanto mengatakan, target produksi AKD mencapai 30 persen dari sisi kuantitas. Enam puluh persen di antaranya memenuhi kualitas SMART Hospital, yaitu Selamat, ber-Mutu, Aman, Ramah, Terjangkau.
“Sekitar 10 persen dari biaya kesehatan kita, yaitu Rp 320 triliun pada tahun 2025 sampai 2029 akan digunakan untuk pemenuhan dan pengelolaan sarana, prasarana, dan alat kesehatan di Indonesia,” ungkap Eko Supriyanto.
Eko Supriyanto mengatakan, ada tiga hal pokok dalam menjalankan SMART Hospital. Pertama, program pemeriksanaan kesehatan gratis untuk penyakit prioritas. Kedua, program penangan TBC menuju nol kasus TB pada 2030, dan ketiga, program pemenuhan fasilitas layanan kesehatan yang lengkap dan modern di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Saat ini, alat kesehatan sudah menggunakan artificial intelligence (AI). “Pada awalnya pasti mahal biaya, tetapi untuk jangka panjang menjadi lebih murah,” ujar dokter Benny Purwanto MARS, direktur utama grup Rumah Sakit Keluarga Sehat Semarang, yang menjadi wakil presiden PTPI.
Pemanfaatan AI, menurut Benny Purwanto, menuntut adanya interkoneksi data medis dari berbagai rumah sakit. Saat ini ada sekitar 3.000 rumah sakit di Indonesia. Sekitar 900 merupakan rmah sakit pemerintah. Anggota PTPI ada 2.400 rumah sakit.
Dengan demikian, rumah sakit yang satu bisa memakai data medis pasien, agar tidak terjadi pengulangan tindakan yang tidak perlu. Misalnya, pasien A melakukan CT scan di RS B. Lalu ia memeriksakan ke RS C, maka RS B bisa memanfaatkan hasil CT scan pasien A di RS B jika hasil CT scan itu belum kedaluarsa. Jadi, RS C tidak perlu lagi melakukan tindakan CT scan terhadap pasien A.
“Diagnosa dengan AI lebih cepat. CT scan tidak perlu berulang-ulang, bisa gunakan data terakhir dari RS lain,” kata Benny Purwanto.